Minggu, 12 Oktober 2014

informasi untuk kelas 1

PEMBERITAHUAN
          Dalam rangka kegiatan masa jeda UTS I tahun ajaran 2014/2015. Maka sekolah akan mengadakan kunjungan ke Perpustakaan Daerah Kab. Sragen bagi kelas 1 besok pada hari Selasa, 14 Oktober 2014. Adapun ketentuan kegiatan tersebut adalah :
1.    Santri diantar jam 07.30 ke kantor Perpusda Sragen dan dijemput jam 12.30 di SD Birrul Walidain Muh. Sragen.
2.   Santri membawa alat mewarnai.
3.   Membawa uang Rp. 2000, -
4.   Membawa air minum

Demikian, semoga menjadi perhatian. Terima kasih.
»»  BACA SELENGKAPNYA......

Minggu, 24 Juni 2012

SEKEDAR RENUNGAN DI BULAN SYAWAL

Membaca pemikiran para ‘ulama dan cendekiawan Muslimin yang sudah dibuka untuk publik dalam edisi: buku, essay, makalah, desertasi akademik, risalah interpretasi (tafsir) dan dakwah verbal serta terbitan majalah dan terbitan website maupun maillist, seolah-olah para pembaca dipersilahkan menengok kembali plot waktu di sekitar aktivitas Sang Rasulullah Muhammad saw menyampaikan Wahyu Qurani kepada Bangsa Arab dan manusia pada umumnya. Di sekitar plot waktu tersebut telah berlangsung suatu pergumulan ideologi, politik, ekonomi sekaligus kekuatan fisik yang realistik yang selama kurun waktu sejarah perkembangan maju masyarakat manusia menghasilkan suasana masyarakat Muslimin global sebagaimana yang kita temui dan alami di saat sekarang.



Sudah barang tentu bagi generasi Muslimin saat ini pola fikir dan miksasi (campuran) perasaan sebagai Muslim sudah sangat jauh berbeda dengan para pendahulu generasi Muslimin pertama. Sitkon budaya masyarakat manusia secara umum telah jauh berubah dan berkembang seiring dengan perkembangan pola fikir dan miksasi perasaan individu manusia biologis dan saling keterkaitan dan interaksi yang sudah berlangsung hampir lima belas abad lamanya. Realitas waktu tenggang 15 abad semenjak Wahyu pertama diturunkan dan keberlangsungan kerasulan Muhammad saw sebagai salvo pertama dalam periode ahir zaman jahiliyah Arabia gerak perkembangan masyarakat manusia menuju suatu budaya modern dewasa ini hingga hiruk-pikuk krisis ekonomi pasar uang Wallstreet dan “political catastrophy” White House yang tak tertolong lagi merupakan saat-saat kaum Muslimin berkesempatan dan perlu melakukan INTROSPEKSI diri atas lembaran kesejarahan, ideologi, politik dan kebudayaan masyarakatnya sendiri dengan mempergunakan kemampuan inferensi dan referensi sejarah perkembangan masyarakat manusia secara umum.



Pemecahan problematika pemahaman ummat terhadap Al-Dinu al-Islam, polah laku politik dan ekonomi serta pembangunan budaya masyarakat Muslim yang menjadi kiprah studi dan analisis teoretik selama ini pada umumnya didasarkan kepada pendekatan kerangka kerja ilmu keagamaan yang tidak diajarkan oleh wahyu Qurani. Justru Wahyu Qurani telah dan akan terus melakukan kritik tegas terhadap rekayasa ilmu keagamaan dalam memahami maksud dan tujuan penciptaan alam semesta dan penciptaan “kholifatan fii al-ardh”. Permasalahan mengenai Yang Maha Pencipta dengan ciptaan-ciptaan-NYA tidak akan dapat difahami melalui ilmu keagamaan sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Mulk (67) ayat 1-5. Para sahabat rasulullah Muhammad saw dan para intelektual Muslimin sudah semenjak rasulullah Muhammad saw masih hidup tidak mampu memahami dan menjelaskan ayat-ayat tersebut secara meyakinkan dengan mempergunakan kerangka kerja ilmu-ilmu teologi, kecuali hanya meng”imani”nya secara dogmatik. Keimanan dogamtik sedemikian inilah yang menyebabkan terbukanya jurang diantara “iman” dengan praktek kemasyarakatan setiap pribadi Muslim, sehingga tidak terdapat persesuaian diantara “iman” ke-Islaman pribadi dengan praktek hidupnya dalam keseharian bermasyarakat dan berkeluarga. Pada lazimnya penjelasan-penjelasan teologis sangat cenderung kepada dugaan-dugaan (al-dzhonu) imajinatif,fantasi dan mistik daripada suatu pemahaman yang memiliki dasar-dasar faktual. Penjelasan demikian itu pernah banyak dikemukakan oleh seabreg-abreg pemikir dan pemerhati tafsiran dan pemahaman Al-Dinu al-Islam yang berkaitan dengan nasib umat Muslimin dalam ribuan karya-karya litrerair dan essay serta tulipen (tulisan pendek).



Kemunculan berbagai alur pemikiran interpretatif (tafsir) atas Al-Quranu al-Karim dan Sunnah rasulullah Muhammad saw yang selanjutnya menimbulkan perpecahan organisasi masyarakat di atas dasar kerangka perbandingan teologi, politik dan ideologi di dalam masyarakat Muslim adalah suatu proses alami yang wajar bagi perkembangan masyarakat manusia sebagaimana yang pernah terjadi pada masa-masa sebelumnya yang difirmankan Allah swt sebagai kisah para rasul dan nabi serta masyarakat berbagai bangsa. Di mana pada setiap peningkatan kwalitas masyarakat manusia, Allah swt selalu mengirmkan utusan dan nabi serta para wali yang ditugaskan menyampaikan wahyu, bimbingan dan peraturan hidup bagi manusia yang mengimani Allah swt. Bahkan realitas sejarah perkembangan masyarakat dan budaya manusia difirmankan Allah swt sebagai wahyu kepada rasulullah Muhammad saw yang dimuat di dalam Al-Quranu al-Karim. Dalam hampir semua usaha memberikan jawaban jitu atas pertanyaan-pertanyaan tersebut secara umum dan masaal para 'ulama Muslimin meletakkan titik pandangnya dan titik tolak pemikirannya pada satu batu granit tua dan keras yang sudah muncul semenjak munculnya jenis Homosapiens: ritualisme teologis. Dalam Wahyu Qurani dikisahkan sebagai peristiwa pembunuhan pertama yang terjadi dalam perselisihan ritual teologis antara bani Adam.



Sebagaimana dijelaskan di dalam firman Allah swt:

"Wa idz akhodza robbuka min baniiii Aadama min dhuhuurihim dzurriyyatahum wa asyhadahum 'alaaaa anfusihim alastu birobbikum Qoolu balaa syahidnaaaa an taquuluu yauma al-qiyaamati innaa kunnaa 'an haadza ghoofiliin - Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan mengambil kesaksian terhadap nafs-nafs mereka: 'Bukankah Aku ini Tuhanmu?' Mereka menjawab: 'Benar (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi'. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamah kamu tidak mengatakan: 'Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap hal ini (ke-Esaan Allah)' " (QS.7:172),

permasalahan realisnya bukan terletak kepada titik tolak pemahaman ritualisme teologis tetapi pada pemahaman ideologis yang tidak mungkin dipisahkan dari realitas pewahyuan wahyu Qurani. Wahyu pertama yang diturunkan sebagai lima buah ayat Surah Al-'Alaq (96) yang pertama (ayat 1-5) merupakan kritik tajam kepada manusia Arab dan masyarakatnya yang secara ideologis menafikan baca-tulis. Dan selanjutnya wahyu yang diturunkan pada permulaan kerasulan dengan tajam mengkritik ideologi materialistik dalam konteks pemujaan kekayaan material, kehormatan politik-ekonomi, kepahlawanan kriminal (tradisi ghozwu), ketidak-pedulian sosial kekeluargaan dan kemasyarakatan dll. Dan wahyu Qurani memberikan solusi dengan pemugaran masyarakat jahiliyah bangsa Arab melalui perangkat pembaharuan ideologis: pembersihan, pensucian, pemurnian, tuhan bangsa Arab yang disebut Allah dari celupan religi, agama, teologi Arab klasik menjadi Allah swt yang saintifik (empirik, rasional, logis, dialektis), realistik, tanpa embel-embel dan atribut imago kemanusiaan.



Dari titik tolak ideologi demikian, manusia tidak dapat tidak akan menerima dan memahami bahwa dirinya berada (eksis) setelah alam semesta berada dan tidak sebelumnya. Oleh karena itu keberadaan (eksistensi) Tuhannya adalah suatu realitas mandiri yang tidak bergantung kepada adanya manusia. Hanya saja dengan kebebasan terbatas yang merupakan salah satu ciri fitroh manusia, maka manusia sering menafikan realitas obyektif dan menggantinya dengan kontemplasi, fantasi dan imajinasi pribadi yang simplistik dari hasil olah logis fikir formal dan olah filtratif “rasa” qolbu yang fluktual tanpa studi yang menyeluruh. Gerak informasi logis formal jaringan kerja neuron pada sel-sel otak dan gerak photonic atom inferensial, refernsial dan filtratif medan “rasa” (sensor) elektro magnetik qolb dari manusia menghasilkan suatu peristiwa holografis yang seolah-olah realistik dan ada dalam ruang-waktu 4 dimensi (simak sebaik-baiknya pengalaman sufiyah Jalaluddin Rumi, Ibn al-‘Arobi, Al-Ghozali, Abdul Qodir Jaelani, Al-Hallaj, Syeh Siti Jenar, Sunan Kudus dll). Dan hal inilah yang lebih diakui oleh para ‘ulama Muslimin dan teolog Muslimin sebagai realitas azali dari pada realitas mandiri yang bebas dari kebergantungannya terhadap manusia sebagai mahluk biologis tertinggi (sempurna - menurut firman Qurani). Pada titik hal-ihwal inilah manusia yang ber”iman” terperosok ke dalam suatu sumur tak berdasar yang berdinding dogma-dogma kontemplatis, fantastis, mistis, transendental dan imajinatik yang kini dikenal secara popular dengan sebutan teologi atau ilmu agama.



Solusi dari semua pertanyaan yang sudah diketengahkan kali ini tidak lain adalah pemindahan dan pengembalian pemahaman ideologis dalam model mindset manusia dari diri pribadi (nafsin) ke mindset realitas obyektif yang mandiri di mana manusia termasuk salah satu bahagian realitas obyektif yang mandiri tersebut – Allah swt - namun sangat sangat lembut, lebih lembut dari debu kosmik. Dengan demikian maka konsekwensinya adalah suatu aksi revolusioner pemindahan pemahaman teologis ke pamahaman sains atas alam semesta, dirinya dan masyarakatnya serta seluruh aspek kehidupannya. Sehingga pendekatan ke arah menemukan kebenaran hakiki, kebenaran mutlak, lebih dimungkinkan secara alamiyah dan praktis serta gampang, sebagaimana dianjurkan oleh firman-firman Quraniyah. Wahyu Qurani menganjurkan agar kita kaum Muslimin dan manusia secara umum berani dan bersedia mempelajari alam semesta seisinya dan mempelajari diri manusia biologis dengan cara memperhatikan gejala-gejala alam yang dapat ditanggap dengan penginderaan dan gejala-gejala yang berlangsung dalam diri biologis pribadi yang dapat ditanggap dengan penginderaan dan “rasa” organis. Dengan tingkat sains dan teknologi ruang angkasa dan informatika saat ini dimungkinkan secara ideologis, politis dan ekonomis kaum Muslimin kembali mengembangkan inisiatif saintifiknya dengan menjadikan firman-firman Allah swt sebagai Pedoman studi hidup dan kehidupannya sendiri. Konsekwensinya adalah meninggalkan angan-angan fantastik, kontemplasi holistik dan imajinasi nihilistik. Untuk perbaikan nasibnya kaum Muslimin harus berani meletakkan kedua telapak kakinya di atas permukaan bumi kehidupannya pribadi dan memecahkan permasalahan hidup pribadinya dengan mempergunakan sinar benderang Petunjuk-petunjuk (hudan) firman Qurani sebagai Pembimbing-nya dan pengalaman praktis sebagai peralatan nyata (instrumentasi wujud) yang dapat dipergunakannya di dalam merealisasi harapan dan doa yang dipanjatkan kehadiran ilahi. Kita harus selalu ingat firman Qurani: "Innalloha la yughoyyiru ma bii kaumin hatta yughoyyiru ma bii anfusihim" yang menjadi petunjuk metodologis dengan teguh memegang kedua tali yang telah diberikan oleh Allah swt dalam wujud model "hablu min Alloh wa hablu min al-Naas” agar hidup pribadi kita selalu memperoleh rohamh, hidayah dan taufiq dari Allah swt.



Dengan pendekatan demikianlah akan terwujud dan nampak jelas kadar (qodar) keimanan, kesalihan, kemuhlisan dan keihsanan seorang Muslim. Hidup dan kehidupan manusia itulah padang masyhar yang luas sejauh mata memandang dimana manusia diuji, dicoba, dipahalai dan ditingkatkan kedudukannya di sisi Allah swt dan di daerah inilah manusia diadili, disiksa dan dimasukkan ke dalam jahannam. Di padang ini pulalah manusia difasilitasi, dianjurkan dan diijinkan berlomba-lomba berbuat baik dan kebaikan demi kemaslahatan bersama, membangun masyarakat manusia yang damai, tenteram, adil, makmur di bawah sinar benderang ideologi tungal Ketuhanan Yang Maha Esa, yang membuahkan sholat yang husuk bagi pribadi-pribadi.



Wa bii Allohi taufiqu wa al-hidayah wassalamu'alaikum wr wb
»»  BACA SELENGKAPNYA......

Senin, 28 Mei 2012

NIKMATI PROSES

Nikmati Proses
K.H. Abdullah Gymnastiar

Sebenarnya yang harus kita nikmati dalam hidup ini adalah proses. Mengapa? Karena yang bernilai dalam hidup ini ternyata adalah proses dan bukan hasil. Kalau hasil itu ALLOH yang menetapkan, tapi bagi kita punya kewajiban untuk menikmati dua perkara yang dalam aktivitas sehari-hari harus kita jaga, yaitu selalu menjaga setiap niat dari apapun yang kita lakukan dan selalu berusaha menyempurnakan ikhtiar yang dilakukan, selebihnya terserah ALLOH SWT.
Seperti para mujahidin yang berjuang membela bangsa dan agamanya, sebetulnya bukan kemenangan yang terpenting bagi mereka, karena menang-kalah itu akan selalu dipergilirkan kepada siapapun. Tapi yang paling penting baginya adalah bagaimana selama berjuang itu niatnya benar karena ALLOH dan selama berjuang itu akhlaknya juga tetap terjaga. Tidak akan rugi orang yang mampu seperti ini, sebab ketika dapat mengalahkan lawan berarti dapat pahala, kalaupun terbunuh berarti bisa jadi syuhada.
Ketika jualan dalam rangka mencari nafkah untuk keluarga, maka masalah yang terpenting bagi kita bukanlah uang dari jualan itu, karena uang itu ada jalurnya, ada rizkinya dari ALLOH dan semua pasti mendapatkannya. Karena kalau kita mengukur kesuksesan itu dari untung yang didapat, maka akan gampang sekali bagi ALLOH untuk memusnahkan untung yang didapat hanya dalam waktu sekejap. Dibuat musibah menimpanya, dikenai bencana, hingga akhirnya semua untung yang dicari berpuluh-puluh tahun bisa sirna seketika.
Walhasil yang terpenting dari bisnis dan ikhtiar yang dilakukan adalah prosesnya. Misal, bagaimana selama berjualan itu kita selalu menjaga niat agar tidak pernah ada satu miligram pun hak orang lain yang terambil oleh kita, bagaimana ketika berjualan itu kita tampil penuh keramahan dan penuh kemuliaan akhlak, bagaimana ketika sedang bisnis benar-benar dijaga kejujuran kita, tepat waktu, janji-janji kita penuhi.
Dan keuntungan bagi kita ketika sedang berproses mencari nafkah adalah dengan sangat menjaga nilai-nilai perilaku kita. Perkara uang sebenarya tidak usah terlalu dipikirkan, karena ALLOH Mahatahu kebutuhan kita lebih tahu dari kita sendiri. Kita sama sekali tidak akan terangkat oleh keuntungan yang kita dapatkan, tapi kita akan terangkat oleh proses mulia yang kita jalani.
Ini perlu dicamkan baik-baik bagi siap pun yang sedang bisnis bahwa yang termahal dari kita adalah nilai-nilai yang selalu kita jaga dalam proses. Termasuk ketika kuliah bagi para pelajar, kalau kuliah hanya menikmati hasil ataupun hanya ingin gelar, bagaimana kalau meninggal sebelum diwisuda? Apalagi kita tidak tahu kapan akan meninggal. Karenanya yang paling penting dari perkuliahan, tanya dulu pada diri, mau apa dengan kuliah ini? Kalau hanya untuk mencari isi perut, kata Imam Ali, "Orang yang pikirannya hanya pada isi perut, maka derajat dia tidak akan jauh beda dengan yang keluar dari perutnya". Kalau hanya ingin cari uang, hanya tok uang, maka asal tahu saja penjahat juga pikirannya hanya uang.
Bagi kita kuliah adalah suatu ikhtiar agar nilai kemanfaatan hidup kita meningkat. Kita menuntut ilmu supaya tambah luas ilmu hingga akhirnya hidup kita bisa lebih meningkat manfaatnya. Kita tingkatkan kemampuan salah satu tujuannya adalah agar dapat meningkatkan kemampuan orang lain. Kita cari nafkah sebanyak mungkin supaya bisa mensejahterakan orang lain.
Dalam mencari rizki ada dua perkara yang perlu selalu kita jaga, ketika sedang mencari kita sangat jaga nilai-nilainya, dan ketika dapat kita distribusikan sekuat-kuatnya. Inilah yang sangat penting. Dalam perkuliahan, niat kita mau apa nih? Kalau mau sekolah, mau kuliah, mau kursus, selalu tanyakan mau apa nih? Karena belum tentu kita masih hidup ketika diwisuda, karena belum tentu kita masih hidup ketika kursus selesai.
Ah, Sahabat. Kalau kita selama kuliah, selama sekolah, selama kursus kita jaga sekuat-kuatnya mutu kehormatan, nilai kejujuran, etika, dan tidak mau nyontek lalu kita meninggal sebelum diwisuda? Tidak ada masalah, karena apa yang kita lakukan sudah jadi amal kebaikan. Karenanya jangan terlalu terpukau dengan hasil.
Saat melamar seseorang, kita harus siap menerima kenyataan bahwa yang dilamar itu belum tentu jodoh kita. Persoalan kita sudah datang ke calon mertua, sudah bicara baik-baik, sudah menentukan tanggal, tiba-tiba menjelang pernikahan ternyata ia mengundurkan diri atau akan menikah dengan yang lain. Sakit hati sih wajar dan manusiawi, tapi ingat bahwa kita tidak pernah rugi kalau niatnya sudah baik, caranya sudah benar, kalaupun tidak jadi nikah dengan dia. Siapa tahu ALLOH telah menyiapkan kandidat lain yang lebih cocok.
Atau sudah daftar mau pergi haji, sudah dipotret, sudah manasik, dan sudah siap untuk berangkat, tiba-tiba kita menderita sakit sehingga batal untuk berangkat. Apakah ini suatu kerugian? Belum tentu! Siapa tahu ini merupakan nikmat dan pertolongan dari ALLOH, karena kalau berangkat haji belum tentu mabrur, mungkin ALLOH tahu kapasitas keimanan dan kapasitas keilmuan kita.
Oleh sebab itu, sekali lagi jangan terpukau oleh hasil, karena hasil yang bagus menurut kita belum tentu bagus menurut perhitungan ALLOH. Kalau misalnya kualifikasi mental kita hanya uang 50 juta yang mampu kita kelola. Suatu saat ALLOH memberikan untung satu milyar, nah untung ini justru bisa jadi musibah buat kita. Karena setiap datangnya rizki akan efektif kalau iman kitanya bagus dan kalau ilmu kitanya bagus. Kalau tidak, datangnya uang, datangnya gelar, datangnya pangkat, datangnya kedudukan, yang tidak dibarengi kualitas pribadi kita yang bermutu sama dengan datangnya musibah. Ada orang yang hina gara-gara dia punya kedudukan, karena kedudukannya tidak dibarengi dengan kemampuan mental yang bagus, jadi petantang-petenteng, jadi sombong, jadi sok tahu, maka dia jadi nista dan hina karena kedudukannya.
Ada orang yang terjerumus, bergelimang maksiat gara-gara dapat untung. Hal ini karena ketika belum dapat untung akan susah ke tempat maksiat karena uangnya juga tidak ada, tapi ketika punya untung sehingga uang melimpah-ruah tiba-tiba dia begitu mudahnya mengakses tempat-tempat maksiat.
Nah, Sahabat. Selalulah kita nikmati proses. Seperti saat seorang ibu membuat kue lebaran, ternyata kue lebaran yang hasilnya begitu enak itu telah melewati proses yang begitu panjang dan lama. Mulai dari mencari bahan-bahannya, memilah-milahnya, menyediakan peralatan yang pas, hingga memadukannya dengan takaran yang tepat, dan sampai menungguinya di open. Dan lihatlah ketika sudah jadi kue, baru dihidangkan beberapa menit saja, sudah habis. Apalagi biasanya tidak dimakan sendirian oleh yang membuatnya. Bayangkan kalau orang membuat kue tadi tidak menikmati proses membuatnya, dia akan rugi karena dapat capeknya saja, karena hasil proses membuat kuenya pun habis dengan seketika oleh orang lain. Artinya, ternyata yang kita nikmati itu bukan sekedar hasil, tapi proses.
Begitu pula ketika ibu-ibu punya anak, lihatlah prosesnya. Hamilnya sembilan bulan, sungguh begitu berat, tidur susah, berbaring sulit, berdiri berat, jalan juga limbung, masya ALLOH. Kemudian saat melahirkannya pun berat dan sakitnya juga setengah mati. Padahal setelah si anak lahir belum tentu balas budi. Sudah perjuangan sekuat tenaga melahirkan, sewaktu kecil ngencingin, ngeberakin, sekolah ditungguin, cengengnya luar biasa, di SD tidak mau belajar (bahkan yang belajar, yang mengerjakan PR justru malah ibunya) dan si anak malah jajan saja, saat masuk SMP mulai kumincir, masuk SMU mulai coba-coba jatuh cinta. Bayangkanlah kalau semua proses mendidik dan mengurus anak itu tidak pakai keikhlasan, maka akan sangat tidak sebanding antara balas budi anak dengan pengorbanan ibu bapaknya. Bayangkan pula kalau menunggu anaknya berhasil, sedangkan prosesnya sudah capek setengah mati seperti itu, tiba-tiba anak meninggal, naudzhubillah, apa yang kita dapatkan?
Oleh sebab itu, bagi para ibu, nikmatilah proses hamil sebagai ladang amal. Nikmatilah proses mengurus anak, pusingnya, ngadat-nya, dan rewelnya anak sebagai ladang amal. Nikmatilah proses mendidik anak, menyekolahkan anak, dengan penuh jerih payah dan tetesan keringat sebagai ladang amal. Jangan pikirkan apakah anak mau balas budi atau tidak, sebab kalau kita ikhlas menjalani proses ini, insya ALLOH tidak akan pernah rugi. Karena memang rizki kita bukan apa yang kita dapatkan, tapi apa yang dengan ikhlas dapat kita lakukan. ***
»»  BACA SELENGKAPNYA......

Senin, 30 Januari 2012

KEHILANGAN KOIN TUA

Dalam kehidupan ini ada beragam cara seseorang menyikapi kehilangan. Dari mulai marah-marah, menangis, protes pada takdir, hingga bunuh diri. Masih ingatkah Anda pada tokoh-tokoh ternama, yang tega membunuh diri sendiri hanya karena sukses mereka terancam pudar? Barangkali kisah yang di adaptasi dari The Healing Stories karya GW Burns berikut ini, dapat memberikan inspirasi.
Alkisah, seorang lelaki keluar dari pekarangan rumahnya, berjalan tak tentu arah dengan rasa putus asa. Sudah cukup lama ia menganggur. Kondisi finansial keluarganya morat-marit. Sementara para tetangganya sibuk memenuhi rumah dengan barang-barang mewah, ia masih bergelut memikirkan cara memenuhi kebutuhan pokok keluarganya sandang dan pangan.
Anak-anaknya sudah lama tak dibelikan pakaian, istrinya sering marah-marah karena tak dapat membeli barang-barang rumah tangga yang layak. Laki-laki itu sudah tak tahan dengan kondisi ini, dan ia tidak yakin bahwa perjalanannya kali inipun akan membawa keberuntungan, yakni mendapatkan pekerjaan.
Ketika laki-laki itu tengah menyusuri jalanan sepi, tiba-tiba kakinya terantuk sesuatu. Karena merasa penasaran ia membungkuk dan mengambilnya. "Uh, hanya sebuah koin kuno yang sudah penyok-penyok dan tua," gerutunya kecewa. Meskipun begitu ia membawa koin itu ke sebuah bank.
"Sebaiknya koin in Bapak bawa saja ke kolektor uang kuno," kata teller itu memberi saran. Lelaki itupun mengikuti anjuran si teller, membawa koinnya kekolektor. Beruntung sekali, si kolektor menghargai koin itu senilai 30 dollar.
Begitu senangnya, lelaki tersebut mulai memikirkan apa yang akan dia lakukan dengan rejeki nomplok ini. Ketika melewati sebuah toko perkakas, dilihatnya beberapa lembar kayu sedang diobral. Dia bisa membuatkan beberapa rak untuk istrinya karena istrinya pernah berkata mereka tak punya tempat untuk menyimpan jambangan dan stoples. Sesudah membeli kayu seharga 30 dollar, dia memanggul kayu tersebut dan beranjak pulang.
Di tengah perjalanan dia melewati bengkel seorang pembuat mebel. Mata pemilik bengkel sudah terlatih melihat kayu yang dipanggul lelaki itu. Kayunya indah, warnanya bagus, dan mutunya terkenal. Kebetulan pada waktu itu ada pesanan mebel. Dia menawarkan uang sejumlah 100 dollar kepada lelaki itu.
Terlihat ragu-ragu di mata laki-laki itu, namun pengrajin itu meyakinkannya dan dapat menawarkannya mebel yang sudah jadi agar dipilih lelaki itu. Kebetulan di sana ada lemari yang pasti disukai istrinya. Dia menukar kayu tersebut dan meminjam sebuah gerobak untuk membawa lemari itu. Dia pun segera membawanya pulang.
Di tengah perjalanan dia melewati perumahan baru. Seorang wanita yang sedang mendekorasi rumah barunya melongok keluar jendela dan melihat lelaki itu mendorong gerobak berisi lemari yang indah. Si wanita terpikat dan menawar dengan harga 200 dollar. Ketika lelaki itu nampak ragu-ragu, si wanita menaikkan tawarannya menjadi 250 dollar. Lelaki itupun setuju. Kemudian mengembalikan gerobak ke pengrajin dan beranjak pulang.
Di pintu desa dia berhenti sejenak dan ingin memastikan uang yang ia terima. Ia merogoh sakunya dan menghitung lembaran bernilai 250 dollar. Pada saat itu seorang perampok keluar dari semak-semak, mengacungkan belati, merampas uang itu, lalu kabur.
Istri si lelaki kebetulan melihat dan berlari mendekati suaminya seraya berkata, "Apa yang terjadi? Engkau baik saja kan? Apa yang diambil oleh perampok tadi?
Lelaki itu mengangkat bahunya dan berkata, "Oh, bukan apa-apa. Hanya sebuah koin penyok dan tua yang kutemukan tadi pagi".
Memang, ada beragam cara menyikapi kehilangan. Semoga kita termasuk orang yang bijak menghadapi kehilangan dan sadar bahwa sukses hanyalah TITIPAN TUHAN. Benar kata orang bijak, manusia tak memiliki apa-apa kecuali pengalaman hidup. Bila Kita sadar kita tak pernah memiliki apapun, kenapa harus tenggelam dalam kepedihan yang berlebihan?
»»  BACA SELENGKAPNYA......

Jumat, 20 Januari 2012

PELAJARAN DARI SEBUAH JAM

Seorang pembuat jam berkata kepada jam yang sedang dibuatnya. “Hai jam, sanggupkah kamu berdetak 31.104.000 kali selama setahun?” “Ha?! Sebanyak itukah?!” kata jam terperanjat, “Aku tidak akan sanggup!”
“Ya sudah, bagaimana kalau 86.400 kali saja dalam sehari?”
“Delapan puluh ribu empat ratus kali?! Dengan jarum yang ramping seperti ini?! Tidak, sepertinya aku tidak sanggup,” jawab jam penuh keraguan.
“Baik, bagaimana jika 3.600 kali dalam satu jam?”
“Dalam satu jam berdetak 3.600 kali? Tampaknya masih terlalu banyak bagiku.” Jam bertambah ragu dengan kemampuannya.
Dengan penuh kesabaran, tukang jam itu kembali berkata, “Baiklah kalau begitu, sebagai penawaran terakhir, sanggupkah kamu berdetak satu kali setiap detik?”
“Jika berdetak satu kali setiap detik, aku pasti sanggup!” Kata jam dengan penuh antusias. Maka, setelah selesai dibuat, jam itu berdetak satu kali setiap detik.
Tanpa terasa, detik demi detik terus berlalu dan jam itu sungguh luar biasa karena ternyata selama satu tahun penuh dia telah berdetak tanpa henti. Dan itu berarti ia telah berdetak sebanyak 31.104.000 kali dalam setahun, yang juga setara dengan berdetak 86.400 kali dalam sehari, yang setara pula dengan berdetak 3.600 kali dalam satu jam.
Pesan dari kisah tersebut:
Kita sering meragukan dan underestimated terhadap kemampuan diri sendiri untuk mencapai goal, pekerjaan, dan cita-cita yang tampak sangat besar. Kita lantas menggangapnya sebagai hal sangat berat yang tidak mungkin dapat kita angkat. Namun sebenarnya apabila hal yang dianggap besar tersebut kita perkecil dan perkecil lagi, lantas kemudian kita realisasikan hal-hal kecil tersebut secara konsisten serta kontinu, niscaya hal besar yang semula kita anggap tidak mungkin tercapai itu akan terealisasikan.
Intinya, hal besar akan tercapai dengan konsistensi dan kontinuitas, atau dengan istilah lain yang sering digunakan masyarakat: istiqamah! Tentu melekatkan konsistensi dan kontinuitas kepada diri sendiri itu bukan hal yang mudah, karena akan menimbulkan kelelahan yang sangat.
Al-Mutanabbi berkata dalam syairnya yang masyhur,
وَإِذَا كَانَت النُّفُوْسُ كِبَارًا
تَعِبَتْ فِي مُرَادِهَا الْأَجْسَامُ
Dan sekiranya jiwa itu besar,
tentulah jasad itu akan letih dalam menggapai maksudnya. [Khizānah al-Adab ,I/251.]
Ingat, seribu langkah tidak akan ada tanpa adanya satu langkah pertama. Garis panjang hanyalah merupakan kumpulan dari titik-titik.(www.pengusahamuslim.com)
»»  BACA SELENGKAPNYA......

TIPS MENGHILANGKAN STRESSSS

Apabila ada orang lain selalu memaksakan kehendaknya pada anda dan membebani anda dengan kesulitannya, belajarlah untuk mengatakan TIDAK!.. karena ini akan lebih baik daripada anda menderita dalam hati. Begitupun jika kita mengalami situasi yang membuat diri kita stress ada baiknya anda perhatikan tips berikut ini :
  • Jangan selalu tergantung pada orang lain, berusahalah untuk selalu mandiri. Jangan berburuk sangka bahwa orang lain akan menghina atau membicarakan anda, karena belum tentu orang itu sesuai dengan sangkaan anda.
  • Jangan selalu mengingat kesalahan dimasa lalu, karena rasa bersalah dan menyesal akan mempersulit dan menguras segenap pikiran dan tenaga anda.
  • Jangan menyimpan kemarahan dan frustasi. Utarakan dan bicarakan dengan orang yang bertanggung jawab atas terjadinya hal tersebut.
  • Luangkan waktu setiap hari untuk mulailah kegiatan baru.
  • Jika anda sedang berkendaraan janganlah menjadi pengendara yang agresif, mengalahlah pada Setan Jalanan. Jalankan kendaraan dengan sikap mengalah.
  • Janganlah menyimpan rasa dengki dan cemburu, karena rasa itu memakan banyak energi pada tubuh.
  • Jangan membiasakan bersikap terburu-buru, karena tindakan terburu-buru akan menjurus pada kesalahan, penyesalan, dan stres..
  • Yakinkan pada diri anda bahwa sebesar apapun cobaan2 yang Tuhan timpakan diri anda, pasti sudah sesuai dengan kadar kemampuan kita untuk menghadapinya.
So.. kenapa kita harus stress jika kita punya keluasan hati tuk menerima semua hal dan bisa menyikapinya dengan baik, tenang, sabar, dan benar, tentunya tidak akan pernah ada kata stress di dunia ini :-D. Ada pepatah mengatakan “makin sering orang stress makin besar orang itu berpeluang memperpendek umur.”(By : Mario Teguh).
»»  BACA SELENGKAPNYA......